Minggu, 05 Desember 2010

TOKOH-TOKOH FILSAFAT DALAM ISLAM

A.    IBNU SINA dan FILSAFATNYA
Biografi Ibnu Sina(Aviciena)
Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Thahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 H di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu. 
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 H saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya. 
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya.  Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H pada usia 58 tahun. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
Filsafatnya Ibnu Sina(Aviciena)
 Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Menurut Islam, alam ini adalah baharu, fana, dan akan binasa. Oleh karena itu, Ibnu Sina berpendapat, bahwa terjadinya alam ini adalah dengan cara melimpah, seperti melimpahnya cahaya dari matahari atau melimpahnya panas dari api, hal mana sudah menjadi tabi’atnya. Ibnu berpendapat bahwa alam ini bukan azali, tetapi didahului oleh keadaan tidak ada, yang berarti baharu. Teori emanasi yang digunakan Ibnu Sina adalah proses kejadian alam itu. Menurut Ibnu Sina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari berbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya, dan dengan mengetahui diri-Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud di luar diri-Nya. Bagi Ibnu Sina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-universal), bukan pada maujud-maujud khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara inderawi. Jadi kesimpulannya, alam diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan ada bukan adanya alam dari ketidakadaan. Dengan kata lain dipahami bahwa alam ini adalah diciptakan.
Menurut Ibnu Sina, manusia terdiri dari dua unsur : badan dan jiwa; jiwa berbeda dari badan dan terpisah darinya, lebih-lebih lagi setelah mati. Jiwa itu adalah substansi rohani, dengan argumentasi ” orang terbang ” di angkasa tanpa berjejak ke bumi, orang itu tidak akan merasakan sesuatu selain dirinya. Atas dasar argumentasi ini, jiwa itu adalah substansi immaterial.
Ibnu Sina membagi jiwa kepada tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan daya menangkap dengan panca indra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi; iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini; iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.

B.    ALGHOZALI dan FILSAFATNYA
Biografi Al Ghozali
    Dilahirkan di Thusi pada tahun 450 H. Beliau adalah seorang alim yang banyak menghabiskan masa hidupnya untuk menuntut ilmu dan mendakwahkan islam, tetapi sangat disayangkan dalam perjalanannya dalam menuntut ilmu beliau banyak terpengaruh ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu kalam. Beliau pernah bercerita tentang dirinya bahwa “bekal pengetahuan saya tentang hadits sangat sedikit”. Ibnu Taimiyah dalam hal ini berkomentar Abu Hamid (Al Ghozali) kurang begitu pengalaman dengan atsar-atsar Rasulullah dan orang-orang salaf (para sahabat) sebagaimana orang-orang yang menguasai dalam masalah tersebut, yaitu orang-orang yang dapat membedakan sohih dan dhoifnya sebuah hadits. Oleh karena itu beliau banyak menyebutkan dalam kitab-kitabnya hadits-hadits yang lemah bahkan hadits yang dusta. Seandainya beliau mengetahui tentang ilmu hadits niscaya beliau tidak akan menyebutkannya.
Filsafatnya Al Ghozali
Pada pembagian tentang ilmu Al-Ghazali membagi struktur ilmu menjadi dua bagian, Ilmu Religius dan Ilmu Intelektual. Ilmu agama adalah “ ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir pada mereka melalui akal, seperti aritmetika, atau melalui percobaan, seperti kedokteran, atau dengan mendengar, seperti bahasa”. Ilmu bahasa sebenarnya tidak termasuk dalam kategori ilmu agama, namun karena ia bersifat mengantarkan seseorang untuk menguasai ilmu agama maka ia dimasukkan dalam kategori ilmu agama. Sedang ilmu intelektual adalah ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek manusia semata .
Al-Ghazali selain membedakan ilmu dalam dua bagian di atas, juga membagi ilmu dalam dua kategori kewajiban. Maksudnya, bagi al-Ghazali, ada perbedaan tingkat kewajiban untuk dikuasai antara keduanya: fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Al-Ghazali mengemukakan bahwa seluruh ilmu-ilmu agama bersifat fardhu 'ain kecuali ada beberapa yang fardhu kifayah. Antara lain :
(1)    Ilmu-ilmu tentang sumber-sumber pengetahuan religious, dan
(2)    Ilmu tenteng yusrisprudensi. Contoh lainnya yang kifayah adalah Kalam. Sedang ilmu-ilmu intelektual, bagi al-Ghazali dalam Ihya' tidak satupun yang fardhu 'ain, kecuali beberapa bagian dari metafisika yang berhubungan dengan keesaaan Tuhan.
Tentang ilmu intelektual fardhu kifayah al-Ghazali menyebutkan secara ekspilisit hanya aritmatika dan kedokteran saja. Logika disebutkan secara implisit, dalam kaitannya dengan ilmu Kalam. Karena bagi al-Ghazali, logika bermanfaat bagi penalaran kalam. Dan ada juga ilmu-ilmu yang mubah, yaitu ilmu geometri, astronomi, musik, dan ilmu-ilmu fisik. Sedang ilmu tercela bagi al-Ghazali adalah astrologi.
Dari pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali membagi ilmu-ilmu dalam kerangka etis. Dan juga masih memandang logika atau filsafat sebagai yang terpisah dan tak ada hubungannya dengan ilmu-ilmu agama. Paling banter, bagi al-Ghazali, logika bisa membantu ilmu kalam, dan kalam hanyalah fardhu kifayah belaka. Kerangka etis pembagian ilmu ini diperparah dengan dibaginya ilmu menjadi ilmu hushuli dan laduni. Yaitu pembagian berdasarkan cara mendapatkannya, yang pertama didapat dengan cara perolehan bersifat tak langsung, rasional, logis, dan diskursif. Sedang ilmu kedua, diperoleh secara langsung dari Tuhan, serta merta, supra-rasional, dan kontemplatif. Pembagian cara perolehan ilmu ini tidak disertai keterangan tentang mana saja dari ilmu-ilmu tersebut yang bisa diperoleh secara laduni dan atau husuhuli.
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah adalah membeberkan perdebatan filsafat kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja merusak cara keberagamaan mereka yang bersifat retorik, tapi juga menodai pemikiran filosof yang didasarkan pada logika demonstratif.
al-Ghazali juga berangkat dari skeptisisme kendatipun pada akhirnya beliau menemukan puncak pemikiran dan metode filsafatnya. Ini bisa dilihat dari pengakuan al-Ghazali di dalam 'al-Munqidz min al-Dhalal’:
“... akhirnya aku sampai pada puncak keraguan. Aku tidak menemukan rasa aman terhadap mahsusat. Dalam keraguan itu aku bertanya pada diri sendiri: atas dasar apa aku percaya pada mahsusat? Sebut saja indra penglihatan; saat kita melihat bayangan sesuatu, seolah bayangan itu tidak bergerak. Ia sedikitpun tidak bergeming dari tempatnya. Padahal, kalau kita teliti secara mendalam, dan membiarkan mata kita terus tertuju pada bayangan itu, kita akan mendapati bayangan itu sebetulnya bergerak, tetapi tidak spontan. Ia secara perlahan-lahan bergeser meninggalkan tempatnya semula.
Atau mata kita melihat bintang di atas langit. Dalam penangkapan mata kita, bintang itu terlihat sangat kecil sekecil uang logam. Padahal, menurut perhitungan ilmu ukur/geometri, bisa saja ukuran bintang itu sebetulnya lebih besar dari bumi.
Ini adalah realitas yang disuguhkan mahsusat. Ia menghukumi berdasarkan hukumnya sendiri. Tentu saja akan berbeda dengan hukum akal. Bahkan hukum akal pasti akan mencela dan menganggapnya bohong. Pada akhirnya, kepercayaanku terhadap mahsusat berangsur-angsur runtuh. Aku beralih pada akal. Akal menginformasikan bahwa bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan tiga; nafy dan itsbat, hadits dan qadim, ada dan tiada, tidak mungkin bertemu dalam waktu dan kesempatan yang sama dan bersamaan.
Begitulah cara akal menghukumi sesuatu. Namun, adakah hukum lain yang akan membantah dan meruntuhkan hukum akal? Aku menemukan jawabannya melalui pengalaman mimipi. Ketika kita bermimpi, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) di luar kenyataan indrawi.
Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar/ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Karena akal maupun indra tidak mampu memahaminya. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah. (untuk lebih jelas baca: al-Munqidz min al-Dhalal, hal. 27)”
Di sini al-Ghazali menemukan puncak filsafatnya setelah melewati masa-masa hairah (skeptisisme). Hanya saja setelah melampaui masa-masa kritis itu, al-Ghazali berhasil menemukan metodenya sendiri, selain empirisme dan rasionalisme, yakni metode intuitif (mukasyafah). Sementara Descartes menjadikan sekeptisismenya itu sebagai metode dalam menemukan 'kebenaran absolut'
Menurut al-Ghazali, untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita jangan mudah percaya dengan segala pengetahuan yang sampai kepada kita, baik yang berasal dari pengalaman maupun akal. Karena itu, al-Ghazali sangat meragukan pengetahuan empirisme maupun rasionalisme. Sebab keduaanya, menurut al-Ghazali, sama-sama tidak mendatangkan 'pengetahuan sejati' (ilm al-yaqini) sehingga tidak mungkin akan sampai pada 'kebenaran absolut' (haqiqah al-umur).
"Secercah cahaya kebenaran hanya akan memancar dari intuisi", kata al-Ghazali. Di sinilah letak perbedaannya dengan Descartes. Kalau Descartes keragu-raguan itu berakhir pada akal (rasionalitas), sementara al-Ghazali pada intuisi. Pengetahuan intuitif (mukasyafah), kata al-Ghazali, ibarat cahaya yang memancar dari hati yang bersih sehingga tersibaklah segala pengetahuan. Ia semacam ilham atau wahyu yang datang dengan sendirinya tanpa campur tangan akal maupun pengalaman (al-Ghazali, Ihya ulum al-Dien, 31/vol 1).

C.    IBNU RUSYD dan FILSAFATNYA
Biografi Ibn Rusyd
    Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab, melalui pemikiran dan karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka atau tidak, filosofi Cordova dan mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah menembus sampai ke Universitas Paris," tulis Ernest Barker dalam The Legacy of Islam. Dilahirkan pada 1126 M di Cordova (Spanyol), Ibnu Rusyd bernama lengkap Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Di Barat, ia dikenal sebagai Averrous. Keluarganya dikenal memberikan perhatian dan apresiasi besar pada ilmu pengetahuan dan tergolong masyhur di kota Cordova. Bakat ini pula yang menurun kepada Rusyd, ketika ia diamanati menjabat sebagai qadi (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim agung) di Cordova.
Tak seperti anak-anak seusianya, masa kecil Rusyd dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran.Itu sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.Beberapa kalangan ulama yang tidak suka dengannya, karena ajaran filsafatnya, berupaya menyingkirkan Rusyd dengan cara memfitnah bahwa dia telah menyebar ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itu, Rusyd diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena. Tak hanya itu, karya-karyanya menyangkut filsafat dibakar dan diharamkan mempelajarinya. Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di dunia Islam. Namun, beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan membebaskannya. Ia lalu pergi ke Maroko dan menghabiskan sisa hidupnya di negeri tanduk Afrika Utara ini hingga wafatnya pada 1198 M.
Filsafatnya Ibn Rusyd
Membaca Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks, yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan bukan artikulasi lafadz. Islam sendiri, demikian Rusyd, tidak melarang orang berfilsafat, bahkan Al Kitab, dalam banyak ayatnya, memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Menurut Rusyd, takwil (pentafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal dan filsafat serta teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.
Dalam kaitan kandungan Alquran ini, Rusyd membagi manusia kepada tiga kelompok: awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, kata Rusyd, Alquran tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis. Demikian juga kepada golongan pendebat, takwil sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir. Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara benar dapat dilakukan dan dipahami oleh ahlul fikir. Pemikiran Rusyd tersebut kemudian dikenal sebagai teori perpaduan agama dan filsafat. Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd berpendapat bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.
Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.
Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd, yaitu:
Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan.
Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan.
Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan.
Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.
Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusydadalah, ketika polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.
Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu:
Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai.
Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.

D.    M. IQBAL dan FILSAFATNYA
Biografi M. Iqbal
Muhammad lqbal penyair (filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis muslim adalah seorang tokoh dominan umat Islam abad kedua puluh) lahir pada bulan Dzulhijjah 1289 H, atau 22 Pebruari 1873 M di Sialkot. Ia memulai pendidikannya pada masa kanak-kanak pada ayahnya, Nur Muhammad yang dikenal seorang ulama. Kemudian Iqbal mengikuti pelajaran al-Qur’an dan pendidikan Islam lainnya secara klasik di sebuah surau. Selanjutnya, Iqbal dimasukkan oleh ayahnya ke Scotch Mission College di Sialkot agar ia mendapatkan bimbingan dari Maulawi Mir Hasan --teman ayahnya yang ahli bahasa Persia dan Arab.
Pada tahun 1895 ia pergi ke Lahore, di kota ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 lqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold --onientalis Inggeris yang terkenal-- yang mengajarkan Filsafat Islam di College tersebut. Pada tahun 1905, ia studi di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu John M.E. McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidelberg dan Munich. Di Munich, ia menyelesaikan doktomya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia. Setelah itu Iqbal kembali ke Lahore dan mengajar di Government College dalam mata kuliah filsafat dan sastra Inggris. Ia beralih profesi dalam bidang hokum, profesi ini digelutinya hingga ia sering sakit tahun 1934, empat tahun sebelum ia meninggal dunia.
Pada tahun 1922 seorang wartawan Inggeris mengusuilcan kepada pemerintahnya untuk memberi gelar Sir kepada Iqbal. Gelar Sir ia terima dengan syarat gurunya, Mir Hasan, yang ahli tentang sastra Arab dan sastra Persia juga mendapat gelar Syams al-Ulama. Pada tahun 1938 sakitnya bertambah parah, ia merasa ajalnya telah dekat, namun Iqbal masih menyempatkan diri berpesan kepada sahabat-sahabatnya :
Kukatakan kepadamu tanda seorang Mu ‘mm
Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir.
Ketika fajar 21 April 1938, dalam usia 60 tahun menurut kalender Masehi, ata 63 tahun dalam kalender Hijri, Iqbal berpulang ke rahmatullah.
Filsafatnya M. Iqbal
    Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, bahwa hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur suatu kegiatan sintetis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai berai dari organism yang hidup kearah suatu tujuan konstruktif. Iqbal membandingkan watak ego dengan watak alam. Menurutnya alam bukanlah seonggok kematerialan murni yang mengisi ronnga, akan tetapi ia merupakan suatu struktur peristiwa-peristiwa, suatu cara tata laku yang sistematis, sama organisnya dengan ego yang hakiki. Alam bagi ego Illahiat sama dengan watak bagi ego manusia.
    Konsep tentang ketuhanan, Iqbal memahaminya dengan tiga tahapan, yaitu : Yang pertama; Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadi, keberadaanNya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului pada sesuatu, bahkan menampakkan diri pada semuanya itu. Yang kedua; Tuhan bukan lagi dianggap sebagai Keindahan Luar, tetapi sebagai Kemauan Abadi, sementara keindahan hanyalah sebagai sifat Tuhan di samping ke-Esa-an Tuhan. Karena itu Tuhan menjadi asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan(the ultimate spiritual basis of all life). Yang ketiga; Jika pada tahap kedua merupakan pertumbuhan maka pada tahapan ketiga merupakan pengembangan menuju kematangan konsepsi lqbal tentang ketuhanan. Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan”, dan Hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual dalam arti suatu individu dan suatu ego.
    Konsep materi dan kausalitas. Menurut Iqbal, kodrat realitas yang sesungguhnya adalah rohaniah dan semua yang sekuler sebenarnya adalah suci dalam akar-akar perwujudannya. lqbal dalam hal ini mensitir hadis Nabi: “Seluruh bumi ini ialah mesjid". Adapun materi adalah suatu kelompok ego-ego berderajat rendah, dan dari sana muncul ego yang berderajat lebih tinggi, apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai suatu derajat koordinasi tertentu.
    Konsep Moral. Filsafat Iqbal adalah filsafat yang meletakkan kepercayaannya kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah dunia. Hal itu dimungkinkan karena manusia merupakan wujud penampakan diri dan Aku Yang Akbar, hal ini sekaligus merupakan keunikan manusia sebagaimana dijelaskan al-Quran (Thaha. 20:122, al-An’am; 6:165, dan al-Ahzab, 33:72). Iqbal berpendapat bahwa tujuan seluruh kehidupan adalah membentuk insan yang mulia (insan al-kamil), dan setiap pribadi haruslah berusaha untuk mencapainya. Cita-cita untuk membentuk manusia utama ini, memberikan kepada kita ukuran ‘baik’ dan ‘buruk’. Apa yang dapat memperkuat pribadi adalah baik sifatnya dan apa yang dapat melemahkan pribadi adalab buruk sifatnya.
Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi menunit Iqbal, ialah:
1. Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.
2. Semangat atau keberanian, termasuk bekerja kreatif dan orisinal, artinya ash dan hasil kreasinya sendiri dan mandiri.
3  Toleransi, rasa tenggang-menenggang.
4. Faqr. yang artinya sikap tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran-ganjaran yang akan diberikan dunia, sebab bercita-citakan yang lebih agung.


Referensi
1.Hanafi, Ahmad.1991. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
2.Mustofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
3.Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam.Jakarta: Gaya Media Pratama
4. http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=908




Tidak ada komentar:

Posting Komentar